Laman

Selasa, 13 November 2012

MASJID MATARAM YOGYAKARTA


tampak dari depan
Masjid Mataram yogyakarta Alamat: Jl. Watu Gilang, Kotagede,
Yogyakarta, Indonesia Koordinat GPS: S7°49'45.7" E110°23'52.5" Masjid yang didirikan pada tahun 1589 Masehi ini dibangun oleh Ki Ageng Pemanahan yang di mana menjadi ciri utama berdirinya kerajaan mataram islam di Yogyakarta, namun di sisi lain menjadi saksi bisu pecahnya Kraton Yogyakarta dan Surakarta hingga sampai saat ini masjid ini dikuasai oleh dua wilayah yaitu Yogyakarta dan Solo. ....... Pada bagian depan masjid terdapat gapura megah yang bernama gapura Padureksa, Gapura yang dibangun menyerupai gapura-gapura candi hindu ini bertujuan untuk menarik minat orang-orang dulu yang notabene pemeluk agama hindu atau untuk agar mudah mengajak orang-orang masuk islam ( berbaur dengan budaya setempat ) dan juga sebagai penghormatan kepada umat setempat yang memeluk agama Hindu dan Budha yang telah ikut membangun masjid ini. Selain Gapura Padureksa di sisi timur, masih terdapat 2 buah gapura sejenis yang terdapat di sisi utara dan selatan Bangunan masjid dibangun dengan gaya jawa berbentuk limasan dan atap tumpang tiga yang dimana mempunyai fhilosopi yang sangat kental yaitu menunjukan makna kehidupan dimana kita itu hidup bertahap untuk menggapai-Nya ( Tuhan ), dan ruang utama yang berukuran panjang 15,22x14,19 meter. Ruang yang ditopang oleh empat buah soko guru ( tiang ) yang terbuat dari kayu jati. Dindingnya terbuat dari tembok dan jendelanya ada delapan buah; enam buah dilngkapi denga jeruji besi dan dua buah dari jeruji kayu. Di dalam ruang utama terdapat mihrab yang berukuran panjang 1,60x2,18x2,92 meter. Mihrab itu diperindah dengan tiang semu yang pada bagian atasnya mempunyai sekumpulan bingkai. Di atas bingkai ini terdapat papan dari kayu jati yang penuh dengan ukir-ukiran dengan motif sulur daun. Di sebelah kanan mihrab terdapat mimbar yang berukuran 2,19x1,40x2,65 meter.. Mimbar ini dibawa oleh Sultan Agung saat ia mampir ke Palembang menjenguk salah satu adipati di tempat itu (setelah pulang dari menunaikan ibadah haji). Sebagai penghargaannya, adipati Palembang memberikan mimbar tersebut. Namun seiring berjalannya waktu dan berharganya benda bersejarah ahirnya Mimbar itu kini jarang digunakan karena sengaja dijaga agar tidak rusak. Sebagai pengganti mimbar itu warga setempat menggunakan mimbar kecil untuk kepentingan ibadah sehari-hari. Di bagian luar ruang inti sebelah kanan, kiri, dan depan terdapat sebuah ruangan yang dinamai serambi, ruangan ini pada jaman dulu dioperasikan sebagai tempat berunding, beribadah selain shalat. Ruangan yang mengelilingi ruang utama ini menjadi tempat bermuayawarah dalam memecahkan sebuah masalah atau maslah kemasyarakatan, dan seringkali digunakan untuk tempat membaca Al-qur’an, pada masa kini serambi dimanfaatkan untuk tempat pengajaran ajaran agama dan tempat mengaji......... Masjid ini dilengkapi dengan alat sederhana pemberitahu penanda masuknya waktu shalat kepada masyarakat setempat, yaitu bedug tua dan kentongan yang dimana menurut sejarahnya bedug ini usianya tidak kalah tua dengan mesjid in, kentongan ini merupakan sebuah hadiah dari Nyai Pringgit yang berasal dari desa Dondongan,dan inilah awal mulanya area sekitar masjid dihuni oleh orang-orang keturunan Nyai Pringgit yang pada saat ini mereka disebut dengan sebutan orang Dondongan........ Untuk menjaga kesucian masjid, di sekeliling masjid bagian depan terdapat sebuah parit yang dimana dibangun untuk tempat orang-orang bersuci sebelum hendak masuk masjid, namun sekarang dikarenakan zaman sudah berubah peran parit itu digantikan dengan keran-keran yang terdapat di sebuah tempat wudhu yang terletak di sebelah utara bangunan masjid, sedangkan parit itu sendiri kini dipakai sebagai tempat pemeliharaan ikan dan untuk mempermudah masyarakat mengakses atau masuk kedalam masjid untuk beribadah kini telah di atas parit itu dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu yang disusun rapi....... Di sisi selatan bangunan utama, terdapat ruang shalat untuk perempuan (pawestren). Ruangan ini berukuran 12,50 x 6,50 m. Lantai ruang pawestren dari ubin teraso. Antara pawestren dan ruang utama dihubungkan sebuah pintu. Atap bangunan mesjid bertingkat dua. Atap tersebut terbuat dari kayu dan ditutup dengan genteng. Atap tingkat atas berbentuk segi tiga dengan sudutnya yang runcing. Sedangkan, atap tingkat bawah seperti segi tiga yang terpotong bagian atasnya. Puncak atap diberi mahkota yang disebut pataka. Sementara, bangunan tambahan yang terdapat dalam kompleks mesjid ini ada di sebelah utara bangunan induk. Bangunan tambahan ini dipergunakan sebagai tempat wudlu yang berukuran 3,47x2,20x1,94 meter dan dilengkapi dengan dua buah kamar mandi. Bangunan ini merupakan hasil perbaikan karena bangunan yang asli telah rusak...... Di halaman masjid ini ada beberapa bangunan makam yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: bagian depan yang disebut Prabayaksa, bagian tengah (Witana), dan bagian belakang (Tajug). Bangunan Prabayaksa dikelola oleh keraton Surakarta, sedangkan bangunan Witana dan Tajug dikelola oleh keraton Yogyakarta. Di dalam bangunan Prabayaksa terdapat 64 makam yang salah satunya adalah makam Sultan Sedo Ing Krapyak yaitu Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (lahir: Kotagede, ? - wafat: Krapyak, 1613) adalah raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Ia juga sering disebut dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Tokoh ini merupakan ayah dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram yang juga pahlawan nasional Indonesia. . Di dalam bangunan Witana terdapat 15 makam yang di antaranya adalah makam Kyai dan Nyai Ageng Senopati, dan makam Ki Juru Mertani. Sedangkan, di dalam bangunan Tajug hanya terdapat tiga buah makam, yaitu: makam Nyai Ageng Enis, makam Pangeran Joyoprono, dan makam Datuk Palembang...... . Selain makam-makam tersebut ada satu makam lagi, yaitu makam Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang letaknya sebagian di dalam dan sebagian lagi diluar bangunan Prabayaksa. Hal ini memberi makna bahwa Ki Ageng Mangir adalah seorang musuh, tetapi dalam hubungan keluarga ia diterima sebagai menantu Panembahan Senopati. Konon, sewaktu Ki Ageng Mangir akan dimakamkan, rombongan yang mengangkut jenazahnya tidak diperkenankan melalui gapura serta tidak boleh seluruh jasadnya dimakamkan di dalam kompleks masjid ini. Oleh karena itu, sebagian tembok yang berada di sisi utara kompleks masjid terpaksa dirobohkan untuk mengubur jasad Ki Ageng Mangir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar